Thursday 13 June 2013

Kisah Perjalanan Om Lim Sioe Liong (Sudono Salim)

Foto: Forbes
Jakarta Soedono Salim atau yang akrab dipanggil Om Liem dikenal sebagai salah satu konglomerat paling sukses di Indonesia. Namun siapa yang menyangka jika Om Liem harus jatuh bangun sebelum meraih kesuksesan itu.
Om Liem lahir di Cina daratan, di Fuqing sebuah desa kecil di wilayah Fujian, Cina bagian selatan, pada 16 Juli 1916. Lahir dengan nama Lim Sioe Liong, ia pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia beberapa dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939. Om Liem kecil yang merupakan anak kedua dari seorang petani itu, hidup dengan sangat kekurangan, bahkan saking miskinnya pada usia 15 tahun ia harus putus sekolah dan berjualan mie di sekitar wilayahnya.
Kisah ini diceritakan dalam buku ‘How Chinese are Entrepreneurial Strategies of Ethnic Chinese Business Groups in Southeast Asia? A Multifaceted Analysis of the Salim Group of Indonesia’ karangan Marleen Dieleman tahun 2007. Buku ini mengambil data dari berbagai sumber, salah satunya adalah laporan tahunan resmi perusahaan Salim Group.
Kemiskinan itulah yang mendasari ia hijrah ke Indonesia, mengikuti jejak kakaknya yangb terlebih dahulu tinggal di Indonesia. Saat pertama kali berada di Indonesia, Om Liem merintis usahanya dengan menjadi supplier cengkeh bagi beberapa pengusaha rokok yang berada di Kudus dan Semarang, Jawa Tengah. Tidak heran bisnis cengkeh menjadi salah satu bisnis yang menunjang kerajaan bisnisnya di masa mendatang, selain bisnis textile tentunya.
Pada era Soeharto, ia sempay mendirikan beberapa bank, seperti Bank Windu Kencana dan Bank Central Asia. Dia juga bersama tiga kolega bisnisnya Soedono Salim, Djuhar Sutanto, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad (belakangan dikenal sebagai The Gangs of Four) membangun sebuah perusahaan tepung terigu terbesar di Indonesia yaitu, PT Bogasari. Perusahaan ini pun berhasil memonopoli pasar terigu di Indonesia dengan menyuplai 2/3 dari seluruh kebutuhan terigu nasional
Kehidupan Om Liem pun ibarat roda yang berputar, saat krisis moneter pada tahun 1997 menghantam Indonesia, kapal bisnis miliknya sempat goyah. Beberapa saham unit bisnisnya seperti PT Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA dan PT Indomobil Sukses Internasional harus dilepas untuk menutup hutang perusahaan yang disebut mencapai 52 triliun rupiah.
Meski sempat goyah, Om Liem berhasil membangkitkan kembali usaha-usaha yang dipegangnya. Salah satunya adalah melalui PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang menghasilkan produk Indomie yang dikenal hingga seantero dunia. Hasilnya pada tahun 2006, namanya kembali menduduki peringkat nomor 10 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Kekayaannya pada saat itu ditaksir mencapai US$ 800 juta.
Pada era reformasi, Om Liem yang rumahnya yang berada di Gunung Sahari, Jakarta Pusat sempat menjadi korban pengerusakan dan penjarahan pada kerusuhan yang melanda Jakarta pada 1998, mulai mengalihkan kepengurusan bisnisnya kepada anakanya Anthony Salim. Lalu mulai saat itu pindah ke Singapura, hingga maut menjemputnya, pada Minggu (10/6/2012).
Selamat Jalan Om Liem.

Apindo: RI Butuh Banyak Om Liem untuk Pembangunan
Ramdhania El Hida – detikNews
Minggu, 10/06/2012 19:08 WIB
Jakarta Meninggalnya pendiri Indofood dan Salim Group, Liem Sioe Liong atau Sudono Salim rupanya membawa duka mendalam dalam dunia perindustrian tanah air.
Meskipun berbeda generasi, Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengakui begitu besar kontribusi lelaki yang akrab dipanggil Om Liem ini bagi pembangunan Indonesia.
“Apa yang dilakukan beliau, memberikan kontribusi pembangunan Indonesia,” ujar Franky kepada detikFinance, Minggu (10/6/2012).
Menurut Franky, pada saat ini, Indonesia masih membutuhkan sosok seperti Liem Soei Liong mengingat negara ini masih dalam tahap berkembang.
“Kita perlu membutuhkan banyak Om Liem saat ini karena negara kita masih negara berkembang,” ujarnya.
Pasalnya, lanjut Franky, sebagai pengusaha yang bisa mencapai status konglomerat masih sangat terbatas di Indonesia. Namun, Sudono Salim mampu memberikan kesempatan kerja yang besar bagi rakyat Indonesia.
“Banyak usahanya dan cukup memberikan kesempatan kerja yang cukup besar dan untuk profesional. Jadi untuk perusahaan yang diawali keluarga, saat ini banyak profesional yang terlibat. Pak Anthony, anaknya pun pakai profesional, agar efektif dan efisien dalam mengelola perusahaan,” tandasnya.
Sudono meninggal di Raffles Hospital Singapura pada Minggu (10/6) sekitar 15.00 WIB. Pria bernama lahir Liem Sioe Liong ini lahir di Tiongkok, 10 September 1915. Anthony Salim yang merupakan anak dari Sudono beserta menantunya Franciscus Welirang kini meneruskan seluruh usaha yang dirintisnya.
Cerita Fuad Bawazier Soal Om Liem di Universitas Bangkalan
Ramdhan Muhaimin – detikNews
Senin, 11/06/2012 05:05 WIB
forbes
Jakarta Salah seorang pengusaha terkaya Indonesia, Liem Sioe Liong (Sudono Salim) atau yang akrab dipanggil Om Liem meninggal dunia. Kabar tersebut mengejutkan politisi Partai Hanura yang pernah menjadi Menteri Keuangan era Orde baru, Fuad Bawazier.
Sebagai politisi yang pernah berada di lingkungan pemerintahan Orde Baru, Fuad mengaku mempunyai kesan tersendiri terhadap sosok Om Liem yang dikenal sebagai salah seorang pengusaha di lingkaran Presiden Soeharto.
Fuad pertama kali mengenal Om Liem ketika dirinya ditunjuk menjadi Direktur Pembinaan BUMN Direktorat Jenderal Moneter Departemen Keuangan RI pada kabinet presiden Soeharto tahun 1990.
“Pemerintah saat itu punya saham sekitar 28 persen di PT Indocement, dan saya adalah direktur pembinaan BUMN tahun 1990. Karena itu, ketika itu saya suka RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) bareng dengan beliau. Posisi saya mewakili pemerintah. Di situ lah saya kenal pertama kali dengan beliau,” tutur Fuad saat berbincang dengan detikcom, Minggu (10/6/2012).
Menurutnya, Om Liem dikenal sebagai sosok yang sederhana, disiplin, mudah bergaul, dan terlihat betul sebagai seorang yang bekerja dan berfikir keras serta serius.
Selain itu, Fuad juga mengenal sosok Om Liem sebagai salah seorang sponsor Universitas Bangkalan, Madura, yang kini telah berubah menjadi Universitas Negeri Trunojoyo. Hal itu diketahuinya ketika suatu ketika sekitar tahun 1990-an dirinya diundang universitas tersebut.
Dalam perjalanan menuju Madura dari Surabaya, Fuad sempat bertemu dan berbincang dengan Om Liem di kapal yang mereka tumpangi.
“Untuk ke Bangkalan itu kan mesti menyeberang kapal dari Surabaya. Ternyata di kapal itu ada Om Liem. Terus saya tanya,Om Liem mau ke mana. Ternyata beliau juga dapat undangan yang sama. Saya bilang, apa hubungannya Bangkalan dengan Om Liem,” tanya Fuad.
“Saya itu jadi sponsor utama Universitas Bangkalan. Mumpung ada orang yang mau membangun, saya kan cuma nyumbang duit aja,” tutur Fuad menirukan jawaban Om Liem.
“Oo, ternyata saya baru tahu juga kalau Om Liem mensponsori universitas,” ungkapnya.
Saat merayakan ulang tahun yang ke-90 pada tahun 2005 di Hotel Shangri-La Singapura, 2000 orang diundang hadir pada acara tersebut. Undangan yang hadir juga banyak dari kalangan pejabat dan mantan pejabat Indonesia. Fuad Bawazier termasuk yang hadir dalam acara tersebut.
Om Liem tutup usia pada usia 97 tahun. Om Liem meninggal di Raffles Hospital Singapura pada Minggu (10/6) sekitar 15.00 WIB. Pria bernama lahir Liem Sioe Liong ini lahir di Tiongkok, 10 September 1915. Anthony Salim yang merupakan anak dari Sudono beserta menantunya Franciscus Welirang kini meneruskan seluruh usaha yang dirintisnya.

+++++
Kompas Senin,11 Juni 2012
OBITUARI
Sarapan Bubur Oom Liem
Jangan pernah membayangkan kehidupan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong yang serba wah meski waktu itu disebut sebagai salah satu orang terkaya di Asia. Oom Liem, begitu dia akrab di sapa, suatu waktu menerima wartawan Kompas di kediamannya di Jalan Gunung Sahari pada Juli 1995. Rautnya cerah, senyumnya lebar. Ia menyambut tamunya hanya dengan mengenakan celana pendek.
Pagi itu, ia mengundang Kompas makan pagi di kediamannya. Sebelumnya, pertemuan dengan Oom Liem selalu di kantornya di gedung Indocement, Jalan Jenderal Sudirman. Sempat terbayang, makan pagi seperti apa dengan orang sekaya Oom Liem. Ternyata, ia mengajak makan bubur polos, asinan sayur, telur rebus, dan ikan teri. Ia makan dengan lahap, menggunakan mangkok kecil dan sumpit hitam. Seusai dengan sarapan istimewa itu, ia minum Chinese Tea.
Ia mengajak Kompas duduk di ruang tamunya. Di situ ada beberapa sofa kulit. Namun, tampak benar bahwa, meski semua terawat baik, sofa sudah tua. Di beberapa bagian, warnanya mulai kusam. Oom Liem dapat menangkap keheranan tamunya, lalu berkata, ”Kursi itu memang sudah tua, tetapi aduh untuk apa diganti? Masih empuk.”
Ia meminta waktu sejenak untuk cukur rambut di halaman samping. Rupanya ia mempunyai tukang cukur favorit yang sudah belasan tahun mencukur rambutnya. Kursi yang digunakan kursi butut milik tukang cukur itu.
Kesan yang segera mencuat, alangkah bersahaja pria yang selama puluhan tahun menjadi orang terkaya di Indonesia itu. Tidak ada kesan berpura-pura sederhana. Oom Liem, ya, memang seperti itulah. Kini, tokoh yang bisnisnya ikut memengaruhi perekonomian Indonesia itu telah berpulang ke Yang Maha Pencipta, Minggu, di Singapura pada usia 97 tahun.
Banyak hal bisa dikenang dari usahawan ini. Di balik sikapnya yang amat sederhana, tersimpan kearifan dan belas yang tinggi. Kalau berada di Jakarta, hampir setiap hari menerima tamu yang meminta bantuannya. Ada yang minta dibantu karena belum membayar biaya rumah sakit, uang sekolah anak, kredit macet, kekurangan modal, atau tetek bengek yang tidak jelas.
Inilah salah satu latar belakang, tentu juga karena kedekatannya dengan Presiden Soeharto, mengapa para usahawan Tionghoa di Indonesia menjadikan dia seperti ”kepala suku”. Apa yang disampaikan Oom Liem selalu dipatuhi para usahawan. Bahkan, kalau ada sesama usahawan ”bertikai”, Oom Liem cukup mengangkat telepon dan bergurau. Dan, kedua pengusaha itu langsung berdamai.
Suatu ketika ia mendengar masih terdapat ratusan ribu warga keturunan Tionghoa sedang kesulitan. Mereka puluhan tahun tinggal di Indonesia, tetapi tidak mempunyai cukup uang untuk mengurus proses pindah kewarganegaraan. Oom Liem mengontak beberapa sahabatnya untuk bersama-sama mengeluarkan lebih dari Rp 150 miliar untuk membantu mereka.
Ia suka membatu siapa saja tanpa melihat latar belakang mereka. ”Ada satu teman dari Jawa Tengah, aduh dia baru saja kehilangan istri dan dua anaknya. Ia hidup sebatang kara, sekarang dirawat di rumah sakit. Tidak bisa keluar karena miskin. Kasihan, dia harus dibantu,” ujar Oom Liem sambil menyeka air matanya.
Dalam banyak percakapan dengan Kompas, Oom Liem kerap menyatakan bahwa ia merasa heran mengapa banyak yang melihat ia seolah langsung menjadi pengusaha besar. Menurut Oom Liem, ia bisa tiba pada taraf tinggi karena berjuang tanpa lelah dari bawah sejak datang dari Futsing, Hokkian, China selatan, lebih dari tujuh puluhan tahun silam.
Ia jatuh bangun dalam bisnis. Ia menaruh respek saat kawan-kawannya lebih maju. Ia bersabar saat banyak kalangan mencibir ihwal bisnisnya yang dulu beraroma dekat penguasa.
Pasca-kerusuhan Mei 1998, Oom Liem lebih banyak menetap di Singapura. Ia tidak menyampaikan persis mengapa. Akan tetapi, dengan gerak tubuh, ia seolah ingin menyatakan bahwa ia amat sedih rumahnya dibakar. Di rumah itu juga dia kembali ke Sang Pencipta. (Abun Sanda)
+++++++++++++++++++++
Om Liem Pernah Bantu Sembunyikan Mertua Soekarno di Perang Kemerdekaan
M Rizki Maulana – detikNews
Senin, 11/06/2012 07:01 WIB
Forbes
Jakarta Soedono Salim atau Om Liem dikenal sebagai seorang pengusaha yang sukses. Ternyata ada sisi lain dari Om Liem, yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang. Pria kelahiran Juli 1916 ini ternyata pernah membantu menyembunyikan beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia yang pada saat itu menjadi buronan para tentara Jepang.
Salah satunya orang yang dibantu Om Liem tanpa mungkin dia mengetahui sosok itu adalah, Hasan Din, seorang pemimpin Muhammadiyah yang juga merupakan ayah kandung dari Fatmawati, istri Presiden pertama RI, Soekarno.
Kisah ini disebutkan dalam buku ‘How Chinese are Entrepreneurial Strategies of Ethnic Chinese Business Groups in Southeast Asia? A Multifaceted Analysis of the Salim Group of Indonesia’ karangan Marleen Dieleman tahun 2007.
Dalam buku tersebut Marleen menyebutkan pada masa pendudukan Kolonial Belanda maupun Jepang, warga keturunan Cina memiliki kedudukan di atas penduduk pribumi. Itu menyebabkan banyak warga keturunan Cina yang tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Namun tidak demikian dengan Om Liem, ia bersama dengan perkumpulannya saat itu sesama warga keturunan Cina malah mendukung perjuangan rakyat pribumi.
“Liem saat itu tergabung dalam organisasi Futsing Hwee, yang nantinya berganti nama menjadi Siang Bu. Pimpinan organisasi itu memilih rumah milik Liem sebagai tempat persembunyian para buron. Liem dipilih karena ia mempunyai karakter pendiam dan dapat dipercaya. Salah satu orang yang ikut disembunyikan oleh Liem adalah pemimpin Muhammadiyah, Hasan Din, yang juga merupakan mertua dari Soekarno,” tulis Marleen seperti dikutip detikcom dari bukunya hal 83, Minggu (10/6/2012).
Selanjutnya masih di halaman yang sama, Marleen menulis bahwa, karena kebaikannya itu, pada saat Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaan Liem juga mendapat imbasnya. Selain melanjutkan bisnis yang sebelumnya sudah dijalankan, Liem juga melebarkan sayapnya ke industri militer. Melalui koneksi yang ia bangun dengan Hasan Din, ia dipercaya menjadi penyuplai barang-barang untuk Divisi Diponegoro, Jawa Tengah.
“Ia menyuplai barang-barang untuk keperluan para serdadu di Divisi Diponegoro. Bisnis menguntungkan antara kedua belah pihak ini berlangsung cukup lama. Hubungan dagang yang awet ini juga karena ia berhasil membina hubungan baik dengan Hasan Din,” tulisnya.
Marleen menambahkan, hubungan baik antara Liem dan Hasan Din ternyata terus berlanjut termasuk pada akhirnya Liem mendirikan grup usahanya yang dikenal sebagai Salim Group. Din disebut-sebut sempat duduk di jajaran direksi di beberapa perusahaan milik Liem.
“Hasan Din juga diketahui merupakan salah satu pendiri dari Salim Group tersebut,” terangnya.
(riz/fjp)
++++++++++++++++
Jejak Kemesraan Om Liem dan Pak Harto
M Rizki Maulana – detikNews
Senin, 11/06/2012 09:53 WIB
dok Forbes
Jakarta Soedono Salim atau Liem Sioe Liong alias Om Liem dan Soeharto dikenal mempunyai kedekatan yang spesial. Keakraban yang bermula saat keduanya masih berada di Semarang, Jawa Tengah, pada era 1950-an ini berhasil dibina hingga berakhirnya era Orde Baru sekitar 1998.
Salah satu bukti kedekatan antara Om Liem dan Soeharto adalah berdirinya sebuah perusahaan pengolahan tepung terigu, PT Bogasari. Om Liem membangun perusahaan terigu terbesar di Indonesia bersama Sudwikatmono (sepupu Pak Harto), Ibrahim Risjad, dan Djuhar Sutanto.
Hal ini dijabarkan dalam buku ‘How Chinese are Entrepreneurial Strategies of Ethnic Chinese Business Groups in Southeast Asia? A Multifaceted Analysis of the Salim Group of Indonesia’ karya Marleen Dieleman tahun 2007.
Dalam buku ini Marleen menyebutkan, PT Bogasari menjadi yang terbesar, karena perusahaan itu mendapatkan hak monopoli untuk melakukan distribusi terigu dari PT Bulog. Hak monopoli itu membuat keuntungan PT Bogasari melonjak tajam, namun fasilitas yang diberikan Soeharto tidak gratis.
“26% Keuntungan perusahaan harus diserahkan kepada ‘badan amal’. Badan amal yang dimaksud adalah Harapan Kita dan Dharma Putra,” tulis Dieleman.
Selain PT Bogasari, perusahaan lain yang menunjukkan dekatnya hubungan antara Liem dan Pak Harto dapat dilihat, ketika perusahan lain milik Liem, PT Waringin dan PT Mega mendapat kemudahan. Melalui dua perusahaan ini, Om Liem yang mempunyai keahlian bisnis ditambah koneksi politik yang cukup kuat, berhasil mendapatkan hak monopoli impor cengkeh.
“Sempat disebut-sebut izin dan fasilitas kredit yang diberikan ini semata-mata karena kedekatan Liem Sioe Liong dengan Soeharto. Monopoli bisnis ini membuat perusahaan Liem membukukan pendapatan mencapai US$340.000 antara tahun 1968-1970,” tulisnya.
Keberhasilan Liem dalam bisnisnya selain karena kehandalan bisnisnya juga karena kemampuannya untuk memlih partner bisnis. Seperti mengajak Sudwikatmono dalam membangun PT Bogasari, ia juga sempat menjadikan anak-anak Pak Harto, seperti Sigit Hardjojudanto, dan Siti Hardjianti Hastuti Rukmana sebagai partner bisnisnya.
“Dia mempunyai insting yang baik dalam memilih rekan bisnis. Seperti memilih Sudwikatmono, ia seorang pribumi, sepupunya Soeharto, ini tentu sangat berpengaruh terhadap bisnisnya,” ungkap Dieleman.
Jaringan politik-ekonomi di ring I Soeharto inilah yang kemudian melahirkan istilah KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme. Istilah ‘kroni’ menjadi populer.
Masa keemasan Soeharto-Liem berakhir saat terjadi kerusuhan massa pada Mei 1998. Rumah Om Liem di Jl Gunung Sahari dibakar massa yang marah sembari meneriakinya sebagai kaki tangan Soeharto. Soeharto kemudian turun pada 21 Mei.
Kemarahan massa mendorong Om Liem pergi ke Singapura. “Bila rumah Anda telah dibakar, selanjutnya mereka akan mencoba mendapatkan orangnya,” kata Om Liem dalam wawancara yang langka di Singapura, seperti diberitakan New York Times edisi 16 Mei 1999.
“Anda tentunya tidak ingin tertangkap di tengah (kerusuhan) seperti itu,” imbuhnya.
Di Singapura, Om Liem hidup damai. Kebangkitan bisnisnya di Indonesia ditangani oleh anak-cucunya.
Pada tahun 2005, Om Liem masuk daftar orang terkaya nomor 23 di Asia Tenggara dengan kekayaan 750 juta dolar AS. Media Singapura Asia One melaporkan, pada tahun itu juga dia menggelar pesta mewah 2 hari untuk merayakan ulang tahun ke-90. Pesta itu diikuti 2.000 tamu undangan berlangsung di Hotel Shangri-La Singapura. Diperkirakan pesta itu menelan ongkos sekitar 2 juta dolar.
+++++++++++++++++++++
Taipan Senior Itu Telah Tiada
Oleh Damiana N Simanjuntak dan Abdul Muslim
Dari Investor daily 11 Juni 2012
Indonesia kehilangan pengusaha besar. Soedono Salim
alias Liem Sioe Liong, yang akrab disapa Om Liem,
meninggal dunia di Singapura sekitar pukul 15.08 waktu
setempat. Taipan senior pendiri imperium bisnis dengan
bendera Salim Group itu mengembuskan napas terakhir
pada usia 97 tahun di sebuah rumah sakit di Singapura
karena sudah lama sakit dan usia yang sudah sepuh.
Kabar berpulangnya Om Liem dibenarkan oleh sang
menantu, Franky Welirang. Sampai tadi malam, belum diketahui
di mana ayah empat putra dan dua putri kelahiran
Tiongkok, 10 September 1915, itu hendak dikuburkan karena
masih dirapatkan oleh keluarga besar.
“Benar, Bapak telah meninggal di sebuah rumah sakit
di Singapura dan masih disemayamkan di sana,” ujar
Franky kepada Investor Daily per telepon, Minggu (10/6)
malam.
Om Liem merupakan salah satu pengusaha terkemuka
dan konglomerat dengan jaringan bisnis yang solid di Tanah
Air maupun di mancanegara. Semasa hidup, Om Liem
dikenal dekat dengan Soeharto, presiden ke-2 Indonesia.
Selepas kejatuhan Soeharto pada 1998, Om Liem tinggal di
Singapura dan kerajaan bisnisnya diteruskan sang anak,
Anthony Salim, dan menantunya, Franky Welirang.
Om Liem adalah pendiri dan pemilik Central Bank Asia
pada 1957, yang kemudian diubah menjadi Bank Central Asia
(BCA) pada 1960.
BCA adalah bank swasta yang tumbuh
pesat. Ia kemudian mendirikan
Grup Salim, yang membawahi perusahaan-
perusahaan ternama seperti
Indofood, Indomobil, PT Indocement
Perkasa Tbk, PT Bogasari Flour Mill,
Indomaret, Indomarco, Indomiwon,
dan Salim Palm Plantation.
Selain di dalam negeri. Grup Salim
sukses melebarkan sayap bisnis ke
mancanegara, di antaranya Tiongkok,
India, dan Filipina.
Periode 1980-an dan 1990-an imperium
bisnisnya berkembang cepat. Memiliki
sekitar 40 perusahaan, Om Liem
diperkirakan menghasilkan omzet
bisnis tak kurang dari US$ 1 miliar
setahun. Kekayaan pribadi Om Liem
yang pernah dilansir terakhir adalah
sekitar US$ 1,9 miliar (Rp 17,78 triliun).
Sejarah Om Liem dimulai di sebuah
pelabuhan kecil, Fukien, di bagian selatan
Tiongkok. Kakaknya yang tertua,
Liem Sioe Hie, sejak tahun 1922 telah
lebih dulu bermigrasi ke Indonesia
yang waktu itu masih dijajah Belanda
dan bekerja di sebuah perusahaan pamannya
di kota Kudus.
Di tengah hiruk-pikuk usaha ekspansi
Jepang ke Pasifik dan dongeng
tentang harta karun kerajaan-kerajaan
Eropa di Asia Tenggara, pada 1939,
Liem Sioe Liong muda mengikuti jejak
abang tertuanya. Dari Fukien, ia menumpang
sebuah kapal dagang Belanda
yang membawanya menyeberangi
Laut Tiongkok. Sebulan kemudian
sampai di Indonesia.
Sejak dulu, kota Kudus sudah terkenal
sebagai pusat pabrik rokok kretek,
yang sangat banyak membutuhkan bahan
baku tembakau dan cengkih. Dan
sejak zamam revolusi, Om Liem sudah
terlatih menjadi pemasok cengkeh dari
Maluku, Sumatera, dan Sulawesi Utara
melalui Singapura ke Kudus.
Karena itu, berdagang cengkeh merupakan
salah satu pilar utama bisnis
Om Liem pada awal memulai bisnisnya,
selain tekstil. Dulu, dia juga banyak
mengimpor tekstil dari Shanghai.
Untuk memperlancar semua usahanya,
di bidang keuangan, dia pun punya
beberapa buah bank, seperti Bank
Windu Kencana dan BCA. Pada 1970-
an, BCA tumbuh menjadi bank swasta
kedua terbesar di Indonesia.
Salah satu peluang besar yang diperoleh
Om Liem dari pemerintah Indonesia
adalah dengan didirikannya PT Bogasari
pada Mei 1969 yang menguasai
suplai tepung terigu untuk Indonesia bagian
barat yang meliputi sekitar 2/3 penduduk
Indonesia, di samping PT Prima
untuk wilayah Indonesia bagian timur.
Hampir di setiap perusahaan Om
Liem saat itu, dia berkongsi dengan
Djuhar Sutanto alias Lin Wen Chiang
yang juga berasal Fukien. Sejak itu,
usahanya terus berkembang dan tercipta
banyak perusahaan hingga sekarang,
yang dinakhodai oleh putra mahkota,
Anthoni Salim, dan menantunya,
Franky Welirang.
Berjasa
Mengomentari kepergian sang taipan,
Ketua Umum Hipmi Raja Sapta
Oktohari mengatakan, Indonesia kehilangan
sosok pengusaha sekaliber
Soedono Salim. Menurut dia, Om Liem
adalah pengusaha sejati yang tidak
terbatas pada skala nasional tapi juga
bereputasi internasional.
“Banyak cerita tentang almarhum dan
usaha bisnisnya. Menorehkan signature
di perekonomian Indonesia. Banyak
karyanya di tingkat internasional,” ujar
Okto di sela resepsi Ulang Tahun Hipmi
ke-40 di Jakarta, tadi malam.
Dalam pandangan politikus senior
yang juga Ketua DPP Partai Golkar Firman
Subagyo, banyak sikap dan pandangan
hidup yang bisa dicontoh dari
sosok Om Liem. “Lepas dari kontroversinya,
tak sedikit contoh positif
yang bisa dipetik dari seorang Liem
Sioe Liong,” ujar Firman.
Salah satu contoh adalah kontribusi
Liem terhadap kemajuan Indonesia.
“Kontribusi terbesar bagi negeri ini
adalah keberhasilannya membangun
industri yang menampung banyak
tenaga kerja,” kata Firman.
Sekjen Hipmi Harry Warganegara
Harun bahkan berpendapat, tidak berlebihan
menjuluki seorang Soedono
Salim sebagai pahlawan nasional karena
kontribusinya yang besar terhadap
perekonomian nasional. “Beliau
tokoh nasional yang banyak berkontribusi
bagi ekonomi bangsa. Sejak zaman
Orde Baru, di era pembangunan
Repelita, beliau sudah ikut membangun
ekonomi. Harapannya, semakin
banyak pengusaha sekaliber beliau
yang lahir, terutama dari Hipmi. Kami
meneladani prinsipnya yang ulet, tekun
memulai dari nol, dan jeli melihat
peluang. Ini yang penting, karena
peluang bisa muncul hanya satu detik lalu hilang, ujar Harry
+++++++++++++++++++
SENIN, 11 JUNI 2012 | 05:50 WIB
Setia Kawan, Sudono Salim Tak Lari Kala Soeharto Jatuh
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO , Jakarta: – Taipan Sudono Salim atau populer dengan Liem Sioe Liong, dikenal berjaya karena kedekatannya dengan Soeharto, mantan Presiden. Menurut pendiri Independent Research & Advisory Indonesia, Lin Che Wei, Liem adalah sosok yang setia kawan.
“Ketika Soeharto jatuh, dia terkena dampaknya, dan dia menerima,” kata Che Wei saat dihubungi Tempo, Minggu 10 Juni 2012. “Yang saya hormati, dia setia kawan. banyak yang lain ketika susah, melarikan diri, tapi dia menerima,”
Salim memang dikenal dekat dengan Presiden RI ke-2, Soeharto. Kedekatan Salim dengan Soeharto diakui Che Wei berperan penting dalam perkembangan usaha-usaha Salim. Tak pernah ada penguasa lain yang sedekat itu dengan Salim, selain Soeharto. “Pengusaha pasti ada kedekatan, tapi pascaSoeharto lengser, tidak ada yang sedekat itu,” ucap Che Wei.
Pengusaha yang lahir di tanah Tiongkok tersebut, seingat Che Wei, memulai bisnisnya dari berdagang kacang-kacangan dari Medan. Usahanya mulai berkembang ketika ia membuat pabrik sabun dan menjadi supplier sabun untuk militer.
Saat berbisnis sabun inilah, Salim mengenal Soeharto. Pada 1968, ia mendapat peluang bisnis besar sebagai supplier cengkeh. Pada masa tahun ”68-”98 inilah, Che Wei menyebut tahun keemasan Salim. “Setelah jadi supplier sabun ke tentara, dia mulai kenal ke Soeharto, setelah itu dia bikin BCA, bikin pabrik terigu, indomobil dan seterusnya,” ucap Che Wei.
Seiring kejatuhan Soeharto dan krisis ekonomi 1998, TSalim ikut terpuruk. Ia harus kehilangan aset-aset sejumlah perusahaannya termasuk aset BCA. Sebuah perusahaan, Holdiko Perkasa, bahkan sengaja dibentuk pemerintah untuk menjual satu per satu aset Salim. Ketika masa itu, Che Wei mengingat, kisruh terjadi antara generasi kedua Salim dengan generasi kedua kawan sekongsinya Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad. “Satu kali ada ribut generasi kedua ketika beberapa aset dipakai untuk menebus utang. Level kedua saling menuntut,” ujarnya.
Namun, di tangan Salim, masalah selesai dengan mudah, pembicaraan antar-orang tua. “Penyelesaiannya dengan mengingat hubungan sejak lama, mereka menyelesaikan masalah dengan kepercayaan,” ucapnya.
MARTHA T.
+++++++++++++++++++
SENIN, 11 JUNI 2012 | 05:38 WIB
Mengapa “Om Liem” Pilih Nama Sudono Salim
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO , Jakarta:-Di dunia bisnis, ia lebih dikenal dengan nama Liem Sioe Liong. Namun, di pertengahan orde baru ia memiliki nama baru yang dipakainya hingga ia menghembuskan nafas terakhir, Sudono Salim.
Pemilihan nama ini bukan sembarangan. Nama Salim yang dipilih keluarga Liem itu — seperti dikutip Majalah Tempo edisi 2 Juli 1983, punya arti tersendiri yaitu tiga bersaudara. San dalam bahasa Mandarin berarti tiga, dan setelah ditambah dengan she asli, yakni she Liem, menjadi Salim.
Ya, Sudono Salim adalah anak kedua dari tiga bersaudara keluarga petani di Fukien, Fujian, Cina Selatan, 16 Juli 1916. Salim meninggalkan negaranya dan berlabuh di Medan, Sumatera Utara, pada 1936. Ia bergabung dengan saudaranya, Liem Sioe Hie, dan saudara iparnya, Zheng Xusheng.
Hijrah ke Kudus, Jawa Tengah, Salim mulai mencoba pertaruhan sebagai penyalur cengkeh. Bisnisnya terus berkembang pesat dari permintaan untuk produksi rokok kretek.
Nama “Salim” rupanya tak kalah hoki dengan nama “Liem”. Berkat tangan dingin lelaki ini, kapal perusahaannya yang diberi nama Grup Salim menjadi salah satu perusahaan raksasa di Tanah Air. Di bawah bendera Grup Salim, kerajaan bisnisnya menggurita di berbagai bidang antara lain kepemilikannya di Indofood, Indomobil, Indocement, Indosiar, BCA, dan peritel Indomaret.
Minggu 10 Juni 2012, Sudono Salim meninggal di Singapura, pada pukul 15.50 waktu setempat. Sudono wafat karena sakit yang telah dideritanya dua tahun terakhir.
Om Liem, panggilan akrabnya, konglomerat yang pernah menjadi orang terkaya di Indonesia itu, meninggal di usia 95 tahun.
MUNAWWAROH | PDAT
++++++++++++++
SENIN, 11 JUNI 2012 | 05:50 WIB
Setia Kawan, Sudono Salim Tak Lari Kala Soeharto Jatuh
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO , Jakarta: – Taipan Sudono Salim atau populer dengan Liem Sioe Liong, dikenal berjaya karena kedekatannya dengan Soeharto, mantan Presiden. Menurut pendiri Independent Research & Advisory Indonesia, Lin Che Wei, Liem adalah sosok yang setia kawan.
“Ketika Soeharto jatuh, dia terkena dampaknya, dan dia menerima,” kata Che Wei saat dihubungi Tempo, Minggu 10 Juni 2012. “Yang saya hormati, dia setia kawan. banyak yang lain ketika susah, melarikan diri, tapi dia menerima,”
Salim memang dikenal dekat dengan Presiden RI ke-2, Soeharto. Kedekatan Salim dengan Soeharto diakui Che Wei berperan penting dalam perkembangan usaha-usaha Salim. Tak pernah ada penguasa lain yang sedekat itu dengan Salim, selain Soeharto. “Pengusaha pasti ada kedekatan, tapi pascaSoeharto lengser, tidak ada yang sedekat itu,” ucap Che Wei.
Pengusaha yang lahir di tanah Tiongkok tersebut, seingat Che Wei, memulai bisnisnya dari berdagang kacang-kacangan dari Medan. Usahanya mulai berkembang ketika ia membuat pabrik sabun dan menjadi supplier sabun untuk militer.
Saat berbisnis sabun inilah, Salim mengenal Soeharto. Pada 1968, ia mendapat peluang bisnis besar sebagai supplier cengkeh. Pada masa tahun ”68-”98 inilah, Che Wei menyebut tahun keemasan Salim. “Setelah jadi supplier sabun ke tentara, dia mulai kenal ke Soeharto, setelah itu dia bikin BCA, bikin pabrik terigu, indomobil dan seterusnya,” ucap Che Wei.
Seiring kejatuhan Soeharto dan krisis ekonomi 1998, TSalim ikut terpuruk. Ia harus kehilangan aset-aset sejumlah perusahaannya termasuk aset BCA. Sebuah perusahaan, Holdiko Perkasa, bahkan sengaja dibentuk pemerintah untuk menjual satu per satu aset Salim. Ketika masa itu, Che Wei mengingat, kisruh terjadi antara generasi kedua Salim dengan generasi kedua kawan sekongsinya Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad. “Satu kali ada ribut generasi kedua ketika beberapa aset dipakai untuk menebus utang. Level kedua saling menuntut,” ujarnya.
Namun, di tangan Salim, masalah selesai dengan mudah, pembicaraan antar-orang tua. “Penyelesaiannya dengan mengingat hubungan sejak lama, mereka menyelesaikan masalah dengan kepercayaan,” ucapnya.
MARTHA T.
++++++++++++++++++++++
ENIN, 11 JUNI 2012 | 13:13 WIB
Orde Baru Tumbang, Salim Lepas Politik Soeharto
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta – Aktivis masa rezim Orde Baru Soeharto, Budiman Sudjatmiko, mengatakan kerajaan bisnis Salim Grup yang didirikan mendiang Liem Sioe Liong alias Sudono Salim piawai beradaptasi. Grup bisnis yang jaya pada masa Orde Baru itu terbukti tak runtuh seiring lengsernya bekas Presiden Soeharto.
“Grup Salim terbukti mampu beradaptasi,” kata Budiman saat dihubungi pada Senin, 11 Juni 2012.
Budiman mengatakan sedikit-sedikit, setelah Orde Baru digulingkan, grup Salim mulai melepaskan diri dari jaringan-jaringan politik yang dibangun bersama Soeharto. Di bawah pimpinan Anthony Salim, putra Sudono Salim, grup bisnis tersebut membuktikan tetap bisa bertahan tanpa kemudahan-kemudahan yang diberikan Soeharto. “Meskipun bisnisnya tak sebesar dulu lagi. Bank BCA akhirnya dijual,” ujar Budiman yang kini menjadi anggota parlemen dari PDI-Perjuangan.
Pada 1950-an Salim menggandeng tiga sahabatnya bernama Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono untuk mendirikan PT Waringin Kentjana. Perusahaan ini merupakan cikal-bakal imperium bisnis Grup Salim. Sudwikatmono tak lain adalah sepupu Soeharto.
Kedekatan Liem dengan Soeharto, kata Budiman, turut membantunya mengembangkan bisnis. Hubungan keduanya bertahan karena saling menguntungkan. Liem beroleh keuntungan dari perlindungan politik, sedangkan Soeharto diuntungkan karena perkembangan ekonomi.
Menurut pendiri Independent Research & Advisory Indonesia, Lin Che Wei, Liem adalah sosok yang setia kawan. “Ketika Soeharto jatuh, dia terkena dampaknya, dan dia menerima,” kata Che Wei saat dihubungi Tempo, Minggu, 10 Juni 2012. “Yang saya hormati, dia setia kawan. banyak yang lain ketika susah, melarikan diri, tapi dia menerima.”
Hingga dekade 2000-an, kerajaan bisnis Salim Grup tetap bertahan. Di bawah grup ini bernaung perusahaan-perusahaan antara lain Indofood, Indocement, PT Bogasari, Indomobil, serta Indosiar. Taipan yang sejak akhir 1990-an memilih menetap di Singapura itu meninggal pada Minggu 10 Juni 2012 di Singapura.
+++
Bagaimana Hubungan Soeharto dan Om Liem?
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta – Bisnis pengusaha nasional, Sudono Salim atau Liem Sioe Liong, berjaya ketika taipan ini dekat dengan bekas penguasa negeri ini, Presiden Soeharto.
Aktivis masa Orde Baru Budiman Sudjatmiko mengatakan hubungan bekas Presiden Soeharto dengan mendiang Liem bertahan lama karena keduanya saling menguntungkan.
“Om Liem butuh payung politik untuk melindungi bisnisnya dan Soeharto diuntungkan dari bisnis dan perkembangan ekonomi,” kata Budiman saat dihubungi Tempo, Senin, 11 Juni 2012.
Kedekatan Sudono Salim yang akrab dipanggil Om Liem dengan Soeharto bermula saat Soeharto menjabat Panglima Komando Daerah Militer Jawa Tengah tahun 1950-an. Liem dipercaya Soeharto untuk memasok kebutuhan tentara.
Salim menggandeng sahabatnya Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono. Sudwikatmono tak lain adalah sepupu Soeharto. Mereka mendirikan PT Waringin Kentjana yang merupakan cikal-bakal imperium bisnis Grup Salim.
Kedekatan Liem dengan Soeharto berjalan seiring dengan perkembangan bisnisnya. Kiprahnya sebagai menanjak di dekade 1960-an. Saat itu Liem mendapat peluang bisnis besar menjadi supplier cengkeh. Dekade berikutnya, ekspansi bisnis Liem semakin luas.
Liem membangun pabrik tepung terigu raksasa PT Bogasari Flour Mills yang seterusnya berkembang menjadi Indofood. Ia juga mendirikan antara lain Indosiar, Indocement, serta Indomobil.
Budiman mengatakan ekspansi bisnis Liem tak akan semegah itu tanpa kedekatannya dengan Soeharto. Liem memanfaatkan jaringan politik yang ia punya untuk mengembangkan bisnisnya.
Seiring dengan runtuhnya Orde Baru, bisnis Liem juga ikut menurun. Tak lagi sebesar dulu. Tapi, kata Budiman, grup Salim piawai beradaptasi. Inilah yang membuat perusahaan yang dirintis Liem tak ikut runtuh bersama dengan rezim Orde Baru. “Sedikit-sedikit, usahanya tak lagi mengandalkan jaringan politik,” ujar Budiman. “Kemudahan-kemudahan pada masa Orde Baru mulai dilepas.”
Pada era Orde Baru, Budiman dikenal sebagai aktivis penentang pemerintah. Pada akhir 1990-an, sebelum kejatuhan Soeharto, Budiman menjadi ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD). Melalui PRD ia mendorong pemilihan umum yang bersih dan bercita-cita menjadi presiden. Dinamika politik kemudian menyatakan PRD adalah partai terlarang dan Budiman dijebloskan ke penjara Cipinang.
ANANDA BADUDU
++++++++++++++++++++++
Bisnis Salim
Dalam negeri Luar negeri
Indofood First Pacific Ltd (Hongkong)
Bogasari PLDT ,Philex, (philipine)
Indosiar Indofood, QAF ( singpore)
Indocement Singfood investment (singpore)
Indomobil Kolkata West International city (india)
+++++++++++++++++
Om Liem Ubah Mentalitas Bangsa Indonesia Lewat Mie Instan
Ahmad Toriq – detikNews
Senin, 11/06/2012 11:23 WIB
Jakarta Peneliti LIPI Asvi Warman Adam mengenang Sudono Salim atau Om Liem sebagai sosok yang banyak berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Tak hanya di bidang perkenomian, Om Liem berpengaruh mengubah mental masyarakat Indonesia melalui Indomie, mie instan besutan PT Indofood, yang didirikannya.
“Bahwa dia berbisnis Indomie yang seakan lagunya mewakili Indonesia ini, menurut saya membawa perubahan mentalitas bagi bangsa. Orang yang selama ini memakan nasi, sekarang jadi makan mie yang bahannya impor. Ini membawa perubahan tidak hanya di bidang kuliner, tapi juga menyangkut mentalitas Indonesia,” kata Asvi saat berbincang dengan detikcom, Senin (11/6/2012).
Asvi menilai kemudahan penyajian mie instan berpengaruh pada mentalitas masyarakat. “Efek dari pola makan itu kita lihat sendiri, kan kita tahu Indomie secara gizi itu tidak cukup. Saya mengatakan ini menyebabkan pola makan dan mental jadi kita ingin sesuatu yang instan,” papar peneliti yang banyak mengkaji Orba ini.
“Saya tidak mengatakan ini sepenuhnya negatif ya, tapi membuat kita jadi terbiasa dengan sesuatu yang instan,” lanjutnya.
Asvi juga menilai kebiasaan makan mie instan saat ini seakan menjadi ciri khas pola makan masyarakat kalangan bawah. “Ini menjadi sesuatu bagi masyarakat kalangan bawah yang sering merasa cukup dengan Indomie saja,” imbuhnya.
Selain tentang mie instan, Asvi juga mengenang Om Liem sebagai sosok yang dekat dengan Presiden Soeharto. Berkat kedekatannya dengan Soeharto, Om Liem mendapat banyak kemudahan dalam menjalankan bisnisnya.
“Soeharto memberikan berbagai hak monopoli, bukan hanya dengan Liem Sioe Liong, seperti monopoli impor cengkeh,” tutur Asvi.
Menurut Asvi, hubungan Om Liem dan Soeharto saat itu saling menguntungkan. Om Liem banyak diberi kemudahan dalam menjalankan bisnis, Soeharto banyak mendapat bantuan keuangan.
“Jelas Om Liem menjadi orang yang diuntungkan oleh Soeharto, dia menjadi semacam bendahara, memberikan bantuan juga ke Soeharto dalam banyak hal, bantuan keuangan. Lim Sioe Liong ini orang yang setia dengan Soeharto,” pungkasnya.
Om Liem meninggal di Raffles Hospital Singapura pada Minggu (10/6) sekitar 15.00 WIB. Bisnis pria kelahiran Tiongkok, 16 Juli 1916 ini diteruskan oleh anaknya, Anthony Salim, beserta menantunya, Franciscus Welirang.
++++++
Om Liem Berpesan Kembangkan Tahapan BCA
Grup Salim melalui anaknya, Anthoni Salim, kini hanya memiliki 1,76 persen saham di BCA.
SENIN, 11 JUNI 2012, 07:57 WIB Arinto Tri Wibowo
Om Liem pernah minta untuk mengembangkan Tahapan BCA. (VIVAnews/Anhar Rizki Affandi)
BERITA TERKAIT
Akbar Tandjung Layat Om Liem ke Singapura
Om Liem Disemayamkan di Mount Vernon Funeral
Indofood, Mesin Uang Grup Salim
Sofjan: Om Liem Ingin Menikmati Hari Tua
Om Liem, dari Jual Tahu Hingga Terkaya Asia
VIVAnews – Kalangan pengusaha dan dunia bisnis Indonesia kembali berduka. Liem Sioe Liong atau dikenal dengan nama Sudono Salim, tutup usia pada usia 95 tahun di Singapura.
Pengusaha yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia di masa Orde Baru itu meninggal dunia setelah lama menderita sakit karena usia tua.
“Saya sudah cek, betul beliau meninggal di Singapura,” kata Sofjan Wanandi, rekan bisnis Liem Sioe Liong, ketika dihubungi VIVAnews, Minggu, 10 Juni 2012.
Sofjan yang juga ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu, mengungkapkan, kabar wafatnya Sudono Salim diperolehnya dari pesan singkat. Tercatat tiga buah SMS dari rekannya yang berada di Singapura mengabarkan kabar duka tersebut kepadanya.
Franciscus Welirang, wakil direktur utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang juga menantu Lim Sioe Liong, membenarkan bahwa mertuanya meninggal di Singapura pada 10 Juni 2012, pukul 15.50 waktu setempat.
“Benar beliau sudah meninggal. Saya sudah mendapat kabar dari istri saya yang berada di sana,” kata Franciscus melalui sambungan telepon, Minggu, 10 Juni 2012.
Liem Sioe Liong lahir di Tiongkok, 10 September 1915. Om Liem, sapaan Liem Sioe Liong adalah pendiri Grup Salim dan pemilik sejumlah perusahaan besar, di antaranya PT Bank Central Asia Tbk.
Namun, salah satu bisnis terbesarnya di industri perbankan itu, Grup Salim tak lagi miliki mayoritas saham di BCA. Bank yang kini berusia 55 tahun itu sempat menjadi bank terbesar di Indonesia, dengan salah satu andalannya adalah produk Tahapan.
Berdasarkan data di laman bca.co.id, Grup Salim melalui anaknya, Anthoni Salim, kini hanya memiliki 1,76 persen saham di BCA.
Pemilik mayoritas saham BCA per 31 Desember 2011 adalah Grup Djarum melalui Farindo Investment, Ltd, yang berbasis di Mauritius, yakni sebesar 47,15 persen. Selanjutnya, saham yang dibeli kembali oleh BCA (treasury stock) sebesar 1,18 persen, sedangkan publik 49,91 persen.
Direktur Utama BCA Jahja Setiatmadja mengatakan, Om Liem, sapaan Liem Sioe Liong, pernah menitipkan pesan kepada manajemen BCA. “Beliau dulu selalu berpesan untuk mengembangkan Tahapan BCA,” ujar dia dalam pesan singkatnya kepada VIVAnews di Jakarta, Senin 11 Juni 2012.
Jahja menambahkan, pesan Om Liem saat itu untuk mengembangkan bernama Tahapan BCA tersebut dimaksudkan agar produk tabungan itu dapat dimiliki seluruh masyarakat Indonesia.
Kini, berdasarkan data di Bursa Efek Indonesia, nilai kapitalisasi pasar saham BCA di BEI per 8 Juni 2012 telah mencapai Rp172,07 triliun.
Nilai kapitalisasi pasar BCA itu terbesar keempat setelah PT Astra International Tbk (ASII) sebesar Rp269,2 triliun, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) senilai Rp219,15 triliun, dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang mencapai Rp174,7 triliun.(np)
___________________
Dari Kompas Cetak :
Satu Cerita Soeharto tentang Om Liem
Minggu pagi, 24 September 1995, udara di rumah joglo peternakan Tri S, Tapos, Bogor, dingin sekali. Tawa dan gelak silih berganti menggema di tempat sekitar 150 peserta Musyawarah Nasional Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah Indonesia III berkumpul. Ada tawa spontan dan tawa yang dibuat-buat.
Tawa dan gelak itu pecah karena Presiden Soeharto bercerita tentang sahabatnya, Liem Sioe Liong atau Sudono Salim.
Dalam ceritanya, Soeharto banyak menirukan ucapan Liem. ”Beliau itu, kan, celat (cadel),” ujarnya. Ia mengklarifikasi anggapan, Liem dapat berbagai fasilitas usaha dari kekuasaannya sehingga bisa memonopoli usaha terigu dan semen.
Ketika itu, PT Bogasari Flour Mills dan PT Indocement Tunggal Perkasa tampak mencorong.
”Nah, sekarang saya buka saja mengenai masalah Bogasari. Itu (Bogasari) dibangun tahun 1970-an oleh yang bernama Om Liem. Dia, kan, pengusaha yang saya kenal sejak di Semarang. Dia datang kepada saya dengan suara celat mengatakan, ’Pak saya ini olang kelja, untuk lakyat apa yang halus saya lakukan’,” demikian cerita Soeharto.
Kata Soeharto, Liem datang minta tugas, mau kerja tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. ”Lalu saya bilang, kamu jangan hanya dagang saja, …tapi industri yang dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah pangan,” cerita Soeharto.
”Apakah punya teman di luar negeri untuk mendukung permodalan? Lalu dijawab ada. Baiklah kalau begitu, kamu mendirikan pabrik tepung terigu,” demikian Soeharto menceritakan dialognya dengan Liem.
Menurut Soeharto, yang diberi kesempatan soal semen dan gandum bukan hanya Liem. Beberapa pihak juga mendapat fasilitas izin mendirikan pabrik semen dan terigu. Akan tetapi, mereka tidak berkembang.
Di kesempatan lain, ketika menjelaskan soal Liem dan konglomerat lain, Soeharto pernah mengatakan. ”Pemerintah tetap punya kekuasaan mengendalikan mereka dan bisa mengarahkan kerjanya untuk rakyat banyak. Kalau mereka meninggal dunia, kekayaannya tidak bisa dibawa,” ujar Soeharto.
Kini Liem dan Soeharto sudah tiada. Tidak usah kita tanyakan apa yang mereka bawa. Kita lihat saja apa yang mereka wariskan. (J Osdar)

1 comment: